Skip to main content

Arwah Bidan Rumah Sakit


Sebut saja Bunda, nama seorang ibu yang ingin melahirkan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Kebetulan ibu ini adalah seorang bidan. Dan kebetulan juga ia bidan RS ini.

Usianya terbilang muda untuk ukuran ibu beranak satu. Anak pertamanya masih berusia dua setengah tahun. Dan di RS, Bunda memiliki catatan yang baik. Ia pun disegani karyawan lain, baik rekan bidan, dokter, perawat, hingga staf penunjang RS lainnya.


Namun, di sela rasa syukur akan karier dan anugerahnya, Bunda kerap kecewa dengan perhatian suaminya. Ya, menurut cerita, suaminya tidak memberikan perhatian lebih layaknya kepada ibu hamil. Dan kata cerita itu, suaminya tidak terlalu senang dengan kehadiran anak keduanya ini. Entah sebabnya.

Hingga akhirnya waktu yang dinanti itu tiba-tiba datang lebih cepat. Belum sembilan bulan, sang bayi harus cepat-cepat dikeluarkan. Ini tidak normal, bukan panggilan alami, melainkan karena "sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sang ibu dan bayi". Mungkin karena kegiatan Bunda yang berat. Yang terbagi waktunya, pikirannya, dan perasaannya.



Sebenarnya Bunda beruntung saat-saat genting itu terjadi ketika dia berada di RS. Pertolongan pertama pun bisa segera teratasi. Hanya saja, ada sebuah tindakan besar yang memerlukan persetujuan sang Ibu dan Suami. Operasi.

Setelah menunggu sekian lama, Suami tersebut akhirnya sampai di RS. Dokter pun segera meminta persetujuan Si Suami untuk melahirkan anak keduanya. Namun, tidak seperti yang direncanakan, yakni begitu setuju langsung dioperasi. Sang Suami berpendirian untuk tetap melakukan persalinan secara normal. Tanpa peduli imbauan keras dokter, si Suami kekeuh dengan keputusannya.

Bunda sedih. Ia dilema. Sebagai bidan, dia tahu betul kalau kondisinya ini mengharuskan dirinya dioperasi. Ini demi bayi, demi dirinya juga. Demi cintanya pada amak pertamanya. Pun demi cintanya untuk suaminya. Agar ia terus bertahan hidup, mendampingi keluarganya, anugerahnya.

Sesaat setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya, Bunda setuju dengan keputusan suaminya. Ia pasrah, memilih untuk tetap patuh dengan Suaminya. Tak lama, meski berat hati karena tahu konsekuensinya, sang dokter langsung memaksakan Bunda melahirkan dengan cara normal.

Hari itu masih terbilang pagi. Tangisan terdengar. Ini tangisan bayi. Dokter menyeka keringatnya, berusaha untuk tetap tenang. Stafnya ada yang menangis, tak kuasa karena hubungan dengan Bunda cukup dekat. Ya, bayi selamat. Tapi, Bunda, berpulang.

Sedikit hilang kontrol, dokter memarahi sang Suami. Dokter mengecam keputusan sang Suami yang tidak menyetujui persalinan dilakukan dengan cesar. Namun, Suami berkelit, justru memarahi dokter yang dianggap tidak becus. Ketegangan terjadi, tapi hanya sesaat.

Dokter menahan diri. Berusaha mempertahankan profesionalnya meski tangis tak tertahan. Perasaan dokter tak enak di berbagai sisi. Tak enak karena bidan terbilang apik dalam pekerjaannya. Tak enak karena bidan secara tidak langsung membawa nama baik RS. Tak enak hati karena Bunda adalah rekan kerja yang baik.

Kecuali sang Suami. Ia tidak menangis. Mungkin hatinya menangis. Tapi, menurut yang punya cerita, sang Suami lebih terlihat biasa dan tidak terlalu terpukul. Ia lalu pulang ke rumah dan menitipkan bayi keduanya di RS. Sang bayi memang masih harus dirawat intensif. Tanpa pelukan ibunya, kondisi sang bayi sangat lemah.

MALAM

Sebut saja Rudi, dokter RS yang sama. Di samping rekan kerja, Rudi bisa dibilang sahabat dekat Bunda. Selama hidup, Bunda sering menuang keluh kesah pada Rudi. Namun, Rudi menjaga jarak persahabatannya karena kerap dibenci Suami Bunda. Segalanya tentang Bunda diketahui Rudi. Hanya satu yang terlewat, yakni berita bahwa Bunda telah berpulang.

Malam hari, beberapa jam setelah Bunda meninggal, Rudi bermimpi. Bunda datang dengan menangis ke pelukannya. Ia memaki-maki Suaminya di depan Dokter Rudi. Bunda pun mengungkapkan kekesalannya dengan berkata ingin mengajak bayinya saja. Kata yang punya cerita, "Kalau begini, aku ingin bawa anakku saja."

Rudi bingung. Tak mengerti apa maksud mimpinya. Ia pun melanjutkan tidurnya.

SUBUH

Sebut saja Tina, bidan di RS yang sama. Tina adalah rekan dekat Bunda. Ia masih terpukul dengan kepergian sahabatnya itu. Saat subuh, saat hendak beribadah, Tina terkejut dan duduk lemas. Ia sangat yakin melihat sosok Bunda menaiki tangga. Tina tidak berani menyapa, hanya berani berdoa agar Bunda bisa istirahat tenang.

PAGI

Suasana RS, khususnya di ruang inkubator bayi gempar. Bayi Bunda telah tiada. Dokter, termasuk Rudi, dan segenap bidan, termasuk Tina seperti tidak percaya. Apa yang harus dikatakan ke Suami Bunda? Baru saja kemarin dia kehilangan istri, sekarang kehilangan anak keduanya. Namun, tidak seperti yang terbayang. Sesaat setelah mendapat kabar anaknya tiada, menurut yang punya cerita, sang Suami menjawab, "Oh gitu, saya tidak bisa datang hari ini. Baru bisa ke sana jam sebelas."


Begitu rupanya. Mimpi Rudi ternyata isyarat dari Bunda bahwa ia ingin menjemput anaknya. Dan yang dilihat Tina ternyata Bunda hendak menuju ruang tempat bayinya.

Comments

  1. wew.. teriak2 ga Nes waktu diceritain kisah ini? huahahahaha.. :D

    ReplyDelete
  2. cuma ngumpulin bulu2 yang rontok gara2 merinding

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Percuma

Cerita Tiga Paragraf "Eh, lo biasa aja dong mukanya, gak usah songong di daerah gua!", ujar seorang siswa kepada wartawan yang berdemo di depan sekolahnya. Wartawan itu bermaksud meminta pertanggungjawaban pihak sekolah sekaligus mencari oknum siswa yang melakukan pemukulan terhadap pewarta berita di hari sebelumnya. Wartawan, Siswa, dan Keamanan "Wartawan pulang aja! Ga usah buat masalah di sini," teriak salah satu siswa lainnya. Meski didesak, pihak kuli tinta yang kalah jumlah tersebut tetap mengusung jalan damai dan berusaha tidak larut dalam emosi. Kepada polisi, Wartawan minta pihak berwenang menindak aksi brutal siswa SMA tak berbudi itu yang kembali menyerang pendemo. Di tengah kericuhan, tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari kubu siswa, "Percuma lo pake polisi, bapak gua Jenderal!".

Bertahan Hidup

 Cerita Tiga Paragraf "Bang, kenapa memilih jadi pembunuh bayaran? Kenapa harus jadi pembunuh? Banyak cara mencari sesuap nasi, Bang," tanya seorang adik kepada abangnya yang hendak pamit untuk 'bekerja'. Sambil berpamitan, sang Abang memberikan sejumlah uang yang dikeluhkan adiknya kepada Tuhan. Si Abang, tidak sepertinya adiknya yang beristri dan beranak tiga. Ia merasa sudah puas mampu menjalankan amanat almarhum orangtuanya: menjaga dan merawat adiknya. "Aku gak mau uang ini, Bang. Kasian anak aku kalau harus minum susu dari uang ini," demikian sang Adik menolak dengan pesan larangan yang tersirat. "Aku juga ingin Abang tetap hidup, berkeluarga, dan bekerja layaknya orang banyak. Jangan main-main dengan bahaya, Bang" lanjutnya. Dunia ini menawarkan kekerasan. Abang ini hanya menelannya saja," terang sang Abang. "Lagipula, kalau sudah dalam zona perang ini, hidup dan mati itu bedanya tipis," lanjutnya dengan tatapan k