Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

Bingung Harus Apa

Cerita Tiga Paragraf Setelah menyusuri jalan yang ia lalui, akhirnya Doni menyerah. Tidak hanya uang, tetapi ATM, kartu kredit, dan dokumen penting lainnya lenyap bersama tas yang jatuh dari motornya itu. Doni menyesal tidak sadar bahwa tasnya yang disangkutkan di motor telah jatuh di jalan. Mungkin, bukan uang atau kartu yang membuatnya terpukul, tapi file penting--nasib seribu karyawan kantornya. Ia duduk lemas di halte, memandangi motor yang jauh dari cukup untuk mengganti semua kerugian di depan mata. Tiba-tiba, dengan napas setengah hilang, seorang pria berpakaian lusuh menghampiri Doni. "Pak..Pak," ujar bapak paruh baya itu. "Ini tas Bapak kan?" Tanyanya sambil menyerahkan koper hitam kepada Doni. Doni langsung menerimanya, membukanya, dan mengeceknya. Semua lengkap. Doni tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, dan beri hadiah apa. Hanya uang yang terpikir di benaknya. Lima lembar seratus ribu rupiah disodorkan ke bapak penyelamatnya itu. Namun, ba

Foto

Cerita Tiga Paragraf "Bisa nyetir gak sih!!" Bentak seorang pengendara motor yang tersenggol mobil di sampingnya. Keadaan malam itu macet parah disertai gerimis. Baru pulang lembur, Anto, si pengendara motor, berusaha meredam emosinya setelah sadar bahwa yang dibentaknya ternyata seorang wanita tua, mungkin juga seorang ibu. Ia lalu kembali mengenakan helmnya. Setelah berdiam sejenak, ibu itu membalas bentakan Anto. "Rangga? Ranggaaa..," Teriak ibu itu yang langsung keluar dari mobilnya. Anto sontak bingung, siapa Rangga? "Kamu Rangga, nak..," ucap ibu itu sambil mendekatinya. Karena kejadian tersebut di tengah jalan, klakson dari kendaraan lain pun tak terhindarkan. Amarah, bingung, dan tak nyaman diklaksoni, Anto memutuskan pergi meninggalkan ibu itu. "Ranggaaa, ini Ibu. Jangan Pergi!!" teriak sang pengendara mobil ke arah Anto yang menjauh. Dengan tidak menghiraukan klakson dan makian orang lain, ibu itu masuk dan memindahkan mobilny

Dengan Seragam SMA

Harapan Bangsa Cerita Tiga Paragraf "Sip, sudah rapi," ujar Dino, seorang anak berusia 16 tahun yang tinggal bersama gelandangan lain. Dino asyik bercermin sambil menata pakaiannya, seragam SMA. Dengan baju putih, celana abu-abu, sepatu hitam, dan tas gemblok kuning, anak berkulit sawo matang itu pun hendak keluar dari rumah tripleknya. Bergabung dengan anak sekolah lain, Dino berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil. Satu per satu siswa sekolah di sekitar Dino mulai menaiki tumpangannya. Ada yang lari-lari mengejar bus, menggantung di pintu angkot, dan naik ojek karena takut terlambat. Setelah lumayan sepi, hanya tinggal beberapa calon penumpang yang didominasi pekerja, Dino mulai turun dari trotoar dan memasuki bahu jalan. Anak yatim piatu, gelandangan di Jln. Prof. Dr. Satrio itu mengacungkan telunjuk tangannya ke arah mobil-mobil yang melintas. Ia berharap ada orang yang mau memakai jasanya untuk menjadi seorang Joki 3 in 1.

Nafsu Sesat

Cerita Tiga Paragraf "Ayo, Neng ikut aja..," ajak si supir. Rani, karyawati salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan spontan membalas, "makasi, Bang..saya ke arah Pasar Rebo." Sang supir angkot tidak menyerah. Dengan dalih bahwa angkotnya juga mengarah ke tujuan yang sama, ia kembali menawarkan gadis itu untuk naik. Setelah berpikir satu kali, Rani, 26 tahun, pun percaya. Ia naik sembari membenarkan rok ketatnya. Tidak lama, tiga orang pria naik angkot tersebut. Seorang di antaranya tiba-tiba menutup pintu dan mematikan lampu dalam. Rani yang sudah dipegangi dua penumpang lainnya berusaha berontak sekuat tenaga. Tanpa diduga, Rani cukup kuat membuat tiga pria itu kewalahan. Kalah jumlah, Rani akhirnya tak berkutik. Satu per satu pakaian Rani dilucuti. Setelah tubuh Rani tinggal ditutupi bra dan celana dalam, satu pria yang ternyata sudah bugil langsung menerjangnya. Dengan penuh nafsu, pria pemerkosa itu menarik celana dalam Rani. "Busyet!!!," teri

Percuma

Cerita Tiga Paragraf "Eh, lo biasa aja dong mukanya, gak usah songong di daerah gua!", ujar seorang siswa kepada wartawan yang berdemo di depan sekolahnya. Wartawan itu bermaksud meminta pertanggungjawaban pihak sekolah sekaligus mencari oknum siswa yang melakukan pemukulan terhadap pewarta berita di hari sebelumnya. Wartawan, Siswa, dan Keamanan "Wartawan pulang aja! Ga usah buat masalah di sini," teriak salah satu siswa lainnya. Meski didesak, pihak kuli tinta yang kalah jumlah tersebut tetap mengusung jalan damai dan berusaha tidak larut dalam emosi. Kepada polisi, Wartawan minta pihak berwenang menindak aksi brutal siswa SMA tak berbudi itu yang kembali menyerang pendemo. Di tengah kericuhan, tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari kubu siswa, "Percuma lo pake polisi, bapak gua Jenderal!".

Di balik Pemecatan Riedl

Riedl Mencintai Indonesia Sebenarnya apa salah Alfred Riedl sampai dipecat? mungkin satu-satunya kesalahan pelatih asal Austria itu adalah, gagal membawa tim nasional Garuda menjuarai AFF. Saat itu, meski tampil gemilang dari babak penyisihan grup, Riedl gagal membuat happy ending karena kalah oleh Malaysia di partai puncak. Namun, Riedl yang dikenal dingin meski anak asuhnya berhasil mencetak gol sebenarnya telah mencatatkan namanya di hati penggemar sepakbola tanah air. Ia bersama asistennya, Wolfgang Pikal memberikan apa yang telah lama dinanti Pecinta bola merah putih. Sudah lama timnas tidak bermain dengan semangat seperti itu, sudah lama timnas tidak berlaga di final, sudah lama timnas tidak mengalahkan Thailand. Riedl? Ia mampu.. Namun, pasca runtuhnya era Nurdin Halid, jasa Riedl seperti terlupakan. Riedl mulai 'tidak dianggap' lagi sejak PSSI tengah dibelit masalah kongres yang berlarut-larut. Sosok dinginnya Riedl Setelah Nurdin resmi diberhentikan

Payung Pinjaman

Perasaanku tidak nyaman. Gelisah, gundah, dan resah. Teguran dan peringatan dari supervisor atas keterlambatanku yang sudah berjumlah sepuluh pun tidak terpikir sama sekali.  Aku hanya memikirkan anak itu. Anak kecil yang telah kusewa payungnya. Pasti dia dimarahi ibunya atau siapa pun orang yang mengasuhnya. Payung yang kubawa ini pasti penting baginya, apalagi sekarang hujan lagi. Anak itu pasti tidak bisa bekerja seperti biasanya. Ah, bodoh sekali aku! Tapi, apa yang harus kulakukan? Di mana harus kukembalukan payung ini? Pagi tadi, aku sangat panik dan kacau. Bahkan, pikiranku seperti telah mendahului raga sampai ke kantor. Kepanikanku tidak terjadi sekali. Hari ini, tepat yang kesepuluh kalinya aku terlambat lebih dari setengah jam. Supervisor yang super disiplin waktu itu pun sepertinya sudah sulit mengeluarkan kata maaf. Hujan deras yang mengguyur pagi itu melengkapi carut-marut Jakarta yang tampak seperti foto slide daripada video streaming. Untung ada anak kecil yang menyewa

--Anakku, ini Ibumu--

“Cepat! Keluar! Tembak semua yang memberontak!,” perintah seorang anak presiden kepada tentaranya. Anak presiden itu mengomandani tentara bayaran yang direkrut dari negara-negara tetangga, tentunya negara yang tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi si tentara. Uang ternyata menjadi alasan yang kuat untuk membutakan perasaan tidak tega dan mengubur jiwa manusiawi sang tentara bayaran tersebut. Tanpa memikirkan adanya siksa api neraka, tentara bayaran yang mayoritas masih muda itu menembaki pemberontak pembela kemerdekaan dengan membabi buta. Bukan peluru karet melainkan senapan mesin dan bazooka yang mereka gunakan untuk menyapu barisan pembela keadilan dan kebenaran, siapa lagi kalau bukan rakyat. Ironisnya, tidak semua orang kejam tak ber-“peri”-kemanusiaan itu adalah tentara bayaran. sebagian diantaranya merupakan putra bangsa yang sedang kacau balau, carut marut, hancur lebur tidak karuan karena sistem pemerintahan yang bobrok dan kotor. Anak negeri yang diharapkan akan men