Perasaanku tidak nyaman. Gelisah, gundah, dan resah. Teguran dan peringatan dari supervisor atas keterlambatanku yang sudah berjumlah sepuluh pun tidak terpikir sama sekali. Aku hanya memikirkan anak itu. Anak kecil yang telah kusewa payungnya. Pasti dia dimarahi ibunya atau siapa pun orang yang mengasuhnya. Payung yang kubawa ini pasti penting baginya, apalagi sekarang hujan lagi. Anak itu pasti tidak bisa bekerja seperti biasanya. Ah, bodoh sekali aku! Tapi, apa yang harus kulakukan? Di mana harus kukembalukan payung ini?
Pagi tadi, aku sangat panik dan kacau. Bahkan, pikiranku seperti telah mendahului raga sampai ke kantor. Kepanikanku tidak terjadi sekali. Hari ini, tepat yang kesepuluh kalinya aku terlambat lebih dari setengah jam. Supervisor yang super disiplin waktu itu pun sepertinya sudah sulit mengeluarkan kata maaf. Hujan deras yang mengguyur pagi itu melengkapi carut-marut Jakarta yang tampak seperti foto slide daripada video streaming. Untung ada anak kecil yang menyewakan payungnya. Berkat dia, berkas pentingku tidak basah ketika aku harus menyeberangi jalan ke koridor busway. Sayangnya, untung bagiku tidak untung baginya. Jangankan lupa bayar, payungnya malah terbawa dan baru sadar setelah sampai di kantor. Bodohnya.
Semoga saja anak itu baik-baik saja. Semoga saja ada rezeki pengganti. Hujan masih cukup deras dan aku sepertinya akan “meminjam” payung ini lagi untuk menyeberang. Saat berjalan keluar koridor dan hendak menyeberang, aku yakin sekali melihat anak pemilik payung ini. Aku langsung berlari ke arahnya. “Adik..Adik, yang punya payung ini, kan?”, tanyaku. “Oh, Mbak yang meminjam payung adik saya?”, kata anak itu. Anak itu ternyata bukan anak yang tadi pagi. Sangat mirip. Setelah kutanya, ternyata dia adalah kakaknya. “Adik sampai sakit Mbak gara-gara menunggu sampai sore”, jelas anak itu dengan nada mengeluh. Aku langsung mengembalikan payungnya dan meminta maaf berkali-kali. Aku merasa berdosa dan memberikan uang seratus ribu padanya. “Wah, Mbak ngeledek? Mana ada kembaliannya?”, kata anak itu. Anak itu tetap tidak mau menerima uang dariku meski kupaksa. “ya sudah besok aja, Mbak” saya tahu, kok, Mbak lewat sini tiap hari. Daaah…!” Anak itu lalu pergi ke arah kerumunan preman jalanan. Aku hanya terdiam dengan masih memegang uang seratus ribu sambil melihat anak itu.
Comments
Post a Comment