Skip to main content

Payung Pinjaman


Perasaanku tidak nyaman. Gelisah, gundah, dan resah. Teguran dan peringatan dari supervisor atas keterlambatanku yang sudah berjumlah sepuluh pun tidak terpikir sama sekali.  Aku hanya memikirkan anak itu. Anak kecil yang telah kusewa payungnya. Pasti dia dimarahi ibunya atau siapa pun orang yang mengasuhnya. Payung yang kubawa ini pasti penting baginya, apalagi sekarang hujan lagi. Anak itu pasti tidak bisa bekerja seperti biasanya. Ah, bodoh sekali aku! Tapi, apa yang harus kulakukan? Di mana harus kukembalukan payung ini?

Pagi tadi, aku sangat panik dan kacau. Bahkan, pikiranku seperti telah mendahului raga sampai ke kantor. Kepanikanku tidak terjadi sekali. Hari ini, tepat yang kesepuluh kalinya aku terlambat lebih dari setengah jam. Supervisor yang super disiplin waktu itu pun sepertinya sudah sulit mengeluarkan kata maaf. Hujan deras yang mengguyur pagi itu melengkapi carut-marut Jakarta yang tampak seperti foto slide daripada video streaming. Untung ada anak kecil yang menyewakan payungnya. Berkat dia, berkas pentingku tidak basah ketika aku harus menyeberangi jalan ke koridor busway. Sayangnya, untung bagiku tidak untung baginya. Jangankan lupa bayar, payungnya malah terbawa dan baru sadar setelah sampai di kantor. Bodohnya.

Semoga saja anak itu baik-baik saja. Semoga saja ada rezeki pengganti. Hujan masih cukup deras dan aku sepertinya akan “meminjam” payung ini lagi untuk menyeberang. Saat berjalan keluar koridor dan hendak menyeberang, aku yakin sekali melihat anak pemilik payung ini. Aku langsung berlari ke arahnya. “Adik..Adik, yang punya payung ini, kan?”, tanyaku. “Oh, Mbak yang meminjam payung adik saya?”, kata anak itu. Anak itu ternyata bukan anak yang tadi pagi. Sangat mirip. Setelah kutanya, ternyata dia adalah kakaknya. “Adik sampai sakit Mbak gara-gara menunggu sampai sore”, jelas anak itu dengan nada mengeluh. Aku langsung mengembalikan payungnya dan meminta maaf berkali-kali. Aku merasa berdosa dan memberikan uang seratus ribu padanya. “Wah, Mbak ngeledek? Mana ada kembaliannya?”, kata anak itu. Anak itu tetap tidak mau menerima uang dariku meski kupaksa. “ya sudah besok aja, Mbak” saya tahu, kok, Mbak lewat sini tiap hari. Daaah…!” Anak itu lalu pergi ke arah kerumunan preman jalanan. Aku hanya terdiam dengan masih memegang uang seratus ribu sambil melihat anak itu.

Comments

Popular posts from this blog

Arwah Bidan Rumah Sakit

Sebut saja Bunda, nama seorang ibu yang ingin melahirkan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Kebetulan ibu ini adalah seorang bidan. Dan kebetulan juga ia bidan RS ini. Usianya terbilang muda untuk ukuran ibu beranak satu. Anak pertamanya masih berusia dua setengah tahun. Dan di RS, Bunda memiliki catatan yang baik. Ia pun disegani karyawan lain, baik rekan bidan, dokter, perawat, hingga staf penunjang RS lainnya. Namun, di sela rasa syukur akan karier dan anugerahnya, Bunda kerap kecewa dengan perhatian suaminya. Ya, menurut cerita, suaminya tidak memberikan perhatian lebih layaknya kepada ibu hamil. Dan kata cerita itu, suaminya tidak terlalu senang dengan kehadiran anak keduanya ini. Entah sebabnya. Hingga akhirnya waktu yang dinanti itu tiba-tiba datang lebih cepat. Belum sembilan bulan, sang bayi harus cepat-cepat dikeluarkan. Ini tidak normal, bukan panggilan alami, melainkan karena "sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sang ibu dan bayi". Mungkin ka

Percuma

Cerita Tiga Paragraf "Eh, lo biasa aja dong mukanya, gak usah songong di daerah gua!", ujar seorang siswa kepada wartawan yang berdemo di depan sekolahnya. Wartawan itu bermaksud meminta pertanggungjawaban pihak sekolah sekaligus mencari oknum siswa yang melakukan pemukulan terhadap pewarta berita di hari sebelumnya. Wartawan, Siswa, dan Keamanan "Wartawan pulang aja! Ga usah buat masalah di sini," teriak salah satu siswa lainnya. Meski didesak, pihak kuli tinta yang kalah jumlah tersebut tetap mengusung jalan damai dan berusaha tidak larut dalam emosi. Kepada polisi, Wartawan minta pihak berwenang menindak aksi brutal siswa SMA tak berbudi itu yang kembali menyerang pendemo. Di tengah kericuhan, tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari kubu siswa, "Percuma lo pake polisi, bapak gua Jenderal!".

Bertahan Hidup

 Cerita Tiga Paragraf "Bang, kenapa memilih jadi pembunuh bayaran? Kenapa harus jadi pembunuh? Banyak cara mencari sesuap nasi, Bang," tanya seorang adik kepada abangnya yang hendak pamit untuk 'bekerja'. Sambil berpamitan, sang Abang memberikan sejumlah uang yang dikeluhkan adiknya kepada Tuhan. Si Abang, tidak sepertinya adiknya yang beristri dan beranak tiga. Ia merasa sudah puas mampu menjalankan amanat almarhum orangtuanya: menjaga dan merawat adiknya. "Aku gak mau uang ini, Bang. Kasian anak aku kalau harus minum susu dari uang ini," demikian sang Adik menolak dengan pesan larangan yang tersirat. "Aku juga ingin Abang tetap hidup, berkeluarga, dan bekerja layaknya orang banyak. Jangan main-main dengan bahaya, Bang" lanjutnya. Dunia ini menawarkan kekerasan. Abang ini hanya menelannya saja," terang sang Abang. "Lagipula, kalau sudah dalam zona perang ini, hidup dan mati itu bedanya tipis," lanjutnya dengan tatapan k