Skip to main content

--Anakku, ini Ibumu--

“Cepat! Keluar! Tembak semua yang memberontak!,” perintah seorang anak presiden kepada tentaranya. Anak presiden itu mengomandani tentara bayaran yang direkrut dari negara-negara tetangga, tentunya negara yang tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi si tentara. Uang ternyata menjadi alasan yang kuat untuk membutakan perasaan tidak tega dan mengubur jiwa manusiawi sang tentara bayaran tersebut. Tanpa memikirkan adanya siksa api neraka, tentara bayaran yang mayoritas masih muda itu menembaki pemberontak pembela kemerdekaan dengan membabi buta. Bukan peluru karet melainkan senapan mesin dan bazooka yang mereka gunakan untuk menyapu barisan pembela keadilan dan kebenaran, siapa lagi kalau bukan rakyat.

Ironisnya, tidak semua orang kejam tak ber-“peri”-kemanusiaan itu adalah tentara bayaran. sebagian diantaranya merupakan putra bangsa yang sedang kacau balau, carut marut, hancur lebur tidak karuan karena sistem pemerintahan yang bobrok dan kotor. Anak negeri yang diharapkan akan menjadi pahlawan negaranya tersebut justru menjadi senjata pemusnah massal yang keji dan mengerikan. Mereka terpojok dan ketakutan; dilema dan sedih; lemah dan menyerah pada ancaman atasan yang menodongkan maut bila tidak menuruti perintahnya. mereka tidak tahu, mereka tidak berani, mereka tidak mengerti, mereka takut mati.

Salah seorang anak bangsa yang ditugaskan menembaki pengunjuk rasa itu menarik pelatuk senapannya berkali-kali dengan mata tertutup. Setelah beberapa peluru terhempas dari barang setan itu, tiba-tiba suara yang sedu, gema, dan merasuki hatinya terdengar hingga memaksanya berhenti menembak. Suara yang sangat ia kenal, suara pertama yang ia dengar saat baru datang ke dunia, suara yang menenangkannya dikala tangis menutup tawa, suara ibunya. “Khadaffi, kaukah itu, nak?” Khadaffi, mengapa kau menembak ibu, nak?” Khadafi….” Putra bangsa itu tak bergerak lagi, ia pun tersungkur lebih dulu dan jatuh dipelukan ibunya. kepala anak itu mengeluarkan banyak darah akibat terjangan peluru panas yang datang dari arah tentara bayaran. ibunya yang sekarat, memeluk anakknya. menangis, berdoa, dan memejamkan mata.

“Anakku…Ibu datang menjemputmu…”


terinspirasi dari sebuah peristiwa di Libya.

26 Februari 2011, 01.30 AM






Comments

Popular posts from this blog

Arwah Bidan Rumah Sakit

Sebut saja Bunda, nama seorang ibu yang ingin melahirkan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Kebetulan ibu ini adalah seorang bidan. Dan kebetulan juga ia bidan RS ini. Usianya terbilang muda untuk ukuran ibu beranak satu. Anak pertamanya masih berusia dua setengah tahun. Dan di RS, Bunda memiliki catatan yang baik. Ia pun disegani karyawan lain, baik rekan bidan, dokter, perawat, hingga staf penunjang RS lainnya. Namun, di sela rasa syukur akan karier dan anugerahnya, Bunda kerap kecewa dengan perhatian suaminya. Ya, menurut cerita, suaminya tidak memberikan perhatian lebih layaknya kepada ibu hamil. Dan kata cerita itu, suaminya tidak terlalu senang dengan kehadiran anak keduanya ini. Entah sebabnya. Hingga akhirnya waktu yang dinanti itu tiba-tiba datang lebih cepat. Belum sembilan bulan, sang bayi harus cepat-cepat dikeluarkan. Ini tidak normal, bukan panggilan alami, melainkan karena "sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sang ibu dan bayi". Mungkin ka...

Bingung Harus Apa

Cerita Tiga Paragraf Setelah menyusuri jalan yang ia lalui, akhirnya Doni menyerah. Tidak hanya uang, tetapi ATM, kartu kredit, dan dokumen penting lainnya lenyap bersama tas yang jatuh dari motornya itu. Doni menyesal tidak sadar bahwa tasnya yang disangkutkan di motor telah jatuh di jalan. Mungkin, bukan uang atau kartu yang membuatnya terpukul, tapi file penting--nasib seribu karyawan kantornya. Ia duduk lemas di halte, memandangi motor yang jauh dari cukup untuk mengganti semua kerugian di depan mata. Tiba-tiba, dengan napas setengah hilang, seorang pria berpakaian lusuh menghampiri Doni. "Pak..Pak," ujar bapak paruh baya itu. "Ini tas Bapak kan?" Tanyanya sambil menyerahkan koper hitam kepada Doni. Doni langsung menerimanya, membukanya, dan mengeceknya. Semua lengkap. Doni tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, dan beri hadiah apa. Hanya uang yang terpikir di benaknya. Lima lembar seratus ribu rupiah disodorkan ke bapak penyelamatnya itu. Namun, ba...

Benar Salah

 Cerita Tiga Paragraf Setelah Pak Rasyid, dosen Sejarah Kesusastraan Indonesia, menerangkan panjang lebar, ia lalu melontarkan pertanyaan pada kelasku. "Kalian tahu kan, penulis roman Azab dan Sengsara?" tanya dosenku itu sambil tersenyum. Tak asing. Roman ini sepertinya pernah kubaca sinopsisnya sepintas. Dalam hati kuberpikir roman ini dibuat jauh sebelum 1945. Sambil memegang kepala dan memejamkan mata, aku berusaha mengingatnya. "Sepertinya sastrawan angkatan 20," gumamku pelan. Merari.. Merari.. Merari Siregar! Yah, Merari Siregar. Merari Siregar Tapi, apa benar ya? Ketidakyakinanku dominan di pikiran. Inginku angkat tangan dan menyebutkan jawabanku, tapi aku takut salah, pasti memalukan. Benar tidak, ya? Aduh. Dan akhirnya, "Masa kalian tidak tahu?" keluh dosenku. "Ck..aduh, kalian ini. Apa sih yang kalian baca? Pengarangnya itu Merari Siregar!"