Skip to main content

Kosong

Cerita Tiga Paragraf

"Silakan Bapak dan Ibu memindahkan barang-barang penting yang bisa dibawa. Seperti yang sudah kami peringatkan, tanah ini milik pemerintah dan dilarang keras mendirikan bangunan apapun," ujar seorang petugas berseragam cokelat. Meski diancam dengan buldozer, para pedagang yang membangun toko kecil di lahan kontroversi itu tak segera pergi dari sana.

Dengan membentuk barisan pagar manusia, mayoritas pedagang makanan itu bersikeras mempertahankan usaha toko kecil mereka. Namun, apalah daya yang bisa dilakukan pedagang tanpa surat-surat itu. Setelah sempat adu argumen dan fisik, mereka yang kalah jumlah pun harus merelakan tokonya rata dengan tanah. Hanya sedikit barang yang bisa diselamatkan.


Sambil tergopoh-gopoh, seorang pemuda dari kalangan pedagang, dengan lantang dan isak tangis yang tak tertahan, bertanya ke arah petugas. "Mau dibangun apa lahan ini? Kapan? Nanti? Besok? Tidak bisa nunggu kami mengeluarkan dagangan?" ujarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Arwah Bidan Rumah Sakit

Sebut saja Bunda, nama seorang ibu yang ingin melahirkan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Kebetulan ibu ini adalah seorang bidan. Dan kebetulan juga ia bidan RS ini. Usianya terbilang muda untuk ukuran ibu beranak satu. Anak pertamanya masih berusia dua setengah tahun. Dan di RS, Bunda memiliki catatan yang baik. Ia pun disegani karyawan lain, baik rekan bidan, dokter, perawat, hingga staf penunjang RS lainnya. Namun, di sela rasa syukur akan karier dan anugerahnya, Bunda kerap kecewa dengan perhatian suaminya. Ya, menurut cerita, suaminya tidak memberikan perhatian lebih layaknya kepada ibu hamil. Dan kata cerita itu, suaminya tidak terlalu senang dengan kehadiran anak keduanya ini. Entah sebabnya. Hingga akhirnya waktu yang dinanti itu tiba-tiba datang lebih cepat. Belum sembilan bulan, sang bayi harus cepat-cepat dikeluarkan. Ini tidak normal, bukan panggilan alami, melainkan karena "sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sang ibu dan bayi". Mungkin ka...

Bingung Harus Apa

Cerita Tiga Paragraf Setelah menyusuri jalan yang ia lalui, akhirnya Doni menyerah. Tidak hanya uang, tetapi ATM, kartu kredit, dan dokumen penting lainnya lenyap bersama tas yang jatuh dari motornya itu. Doni menyesal tidak sadar bahwa tasnya yang disangkutkan di motor telah jatuh di jalan. Mungkin, bukan uang atau kartu yang membuatnya terpukul, tapi file penting--nasib seribu karyawan kantornya. Ia duduk lemas di halte, memandangi motor yang jauh dari cukup untuk mengganti semua kerugian di depan mata. Tiba-tiba, dengan napas setengah hilang, seorang pria berpakaian lusuh menghampiri Doni. "Pak..Pak," ujar bapak paruh baya itu. "Ini tas Bapak kan?" Tanyanya sambil menyerahkan koper hitam kepada Doni. Doni langsung menerimanya, membukanya, dan mengeceknya. Semua lengkap. Doni tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, dan beri hadiah apa. Hanya uang yang terpikir di benaknya. Lima lembar seratus ribu rupiah disodorkan ke bapak penyelamatnya itu. Namun, ba...

Benar Salah

 Cerita Tiga Paragraf Setelah Pak Rasyid, dosen Sejarah Kesusastraan Indonesia, menerangkan panjang lebar, ia lalu melontarkan pertanyaan pada kelasku. "Kalian tahu kan, penulis roman Azab dan Sengsara?" tanya dosenku itu sambil tersenyum. Tak asing. Roman ini sepertinya pernah kubaca sinopsisnya sepintas. Dalam hati kuberpikir roman ini dibuat jauh sebelum 1945. Sambil memegang kepala dan memejamkan mata, aku berusaha mengingatnya. "Sepertinya sastrawan angkatan 20," gumamku pelan. Merari.. Merari.. Merari Siregar! Yah, Merari Siregar. Merari Siregar Tapi, apa benar ya? Ketidakyakinanku dominan di pikiran. Inginku angkat tangan dan menyebutkan jawabanku, tapi aku takut salah, pasti memalukan. Benar tidak, ya? Aduh. Dan akhirnya, "Masa kalian tidak tahu?" keluh dosenku. "Ck..aduh, kalian ini. Apa sih yang kalian baca? Pengarangnya itu Merari Siregar!"