Skip to main content

Perempuan dan Bayi

Cerita Tiga Paragraf

Aku langsung injak rem, mobil pun seketika berhenti. Perhatianku teralih ke seorang ibu yang jatuh, tak jauh dari Nissan March tungganganku. Tak pikir panjang, aku keluar, lalu menghampiri ibu yang tampak berusia sekitar setengah abad. Makin miris, ibu tua itu menggendong seorang bayi. Tangis pun tak kuasa dibendung si bayi, sementara sang ibu berusaha menenangkannya setelah--meski aku bantu--susah payah bangkit.



Di sela-sela tangis bayi aku bertanya, "Ibu tak apa? Kasihan bayinya.." Sambil membenarkan ikatan kain tipis yang menjadi selimut bayinya, ibu tua itu menjawab, "Tak apa-apa, Non. Tadi ibu terpeleset. Tapi, ini bukan bayi ibu, Non. Bayi ini ibu ambil dari pinggir kali sana." Aku diam. Tak tahu harus berkata apa. Entah apa nama rasa ini. Sedih? Iba? Prihatin? Kagum? Entahlah. Aku hanya diam.

"Ibu..ibu bisa merawatnya?" tanyaku. Sesaat aku berkata bodoh di dalam hati, menyesali pertanyaan macam apa yang kulontarkan tadi. Ibu itu tidak menjawab pertanyaanku, hanya bilang, "Terima kasih". Ia lalu pergi menjauh. Bodohnya, aku tak tahu harus apa. Lagi-lagi diam. Aku manajer. Lulusan S2. Punya rumah sendiri, mobil sendiri, tabungan sendiri. Tak tahu harus berbuat apa. Hanya diam.
 

Comments

Popular posts from this blog

Arwah Bidan Rumah Sakit

Sebut saja Bunda, nama seorang ibu yang ingin melahirkan di salah satu rumah sakit (RS) di Depok. Kebetulan ibu ini adalah seorang bidan. Dan kebetulan juga ia bidan RS ini. Usianya terbilang muda untuk ukuran ibu beranak satu. Anak pertamanya masih berusia dua setengah tahun. Dan di RS, Bunda memiliki catatan yang baik. Ia pun disegani karyawan lain, baik rekan bidan, dokter, perawat, hingga staf penunjang RS lainnya. Namun, di sela rasa syukur akan karier dan anugerahnya, Bunda kerap kecewa dengan perhatian suaminya. Ya, menurut cerita, suaminya tidak memberikan perhatian lebih layaknya kepada ibu hamil. Dan kata cerita itu, suaminya tidak terlalu senang dengan kehadiran anak keduanya ini. Entah sebabnya. Hingga akhirnya waktu yang dinanti itu tiba-tiba datang lebih cepat. Belum sembilan bulan, sang bayi harus cepat-cepat dikeluarkan. Ini tidak normal, bukan panggilan alami, melainkan karena "sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sang ibu dan bayi". Mungkin ka

Percuma

Cerita Tiga Paragraf "Eh, lo biasa aja dong mukanya, gak usah songong di daerah gua!", ujar seorang siswa kepada wartawan yang berdemo di depan sekolahnya. Wartawan itu bermaksud meminta pertanggungjawaban pihak sekolah sekaligus mencari oknum siswa yang melakukan pemukulan terhadap pewarta berita di hari sebelumnya. Wartawan, Siswa, dan Keamanan "Wartawan pulang aja! Ga usah buat masalah di sini," teriak salah satu siswa lainnya. Meski didesak, pihak kuli tinta yang kalah jumlah tersebut tetap mengusung jalan damai dan berusaha tidak larut dalam emosi. Kepada polisi, Wartawan minta pihak berwenang menindak aksi brutal siswa SMA tak berbudi itu yang kembali menyerang pendemo. Di tengah kericuhan, tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari kubu siswa, "Percuma lo pake polisi, bapak gua Jenderal!".

Bertahan Hidup

 Cerita Tiga Paragraf "Bang, kenapa memilih jadi pembunuh bayaran? Kenapa harus jadi pembunuh? Banyak cara mencari sesuap nasi, Bang," tanya seorang adik kepada abangnya yang hendak pamit untuk 'bekerja'. Sambil berpamitan, sang Abang memberikan sejumlah uang yang dikeluhkan adiknya kepada Tuhan. Si Abang, tidak sepertinya adiknya yang beristri dan beranak tiga. Ia merasa sudah puas mampu menjalankan amanat almarhum orangtuanya: menjaga dan merawat adiknya. "Aku gak mau uang ini, Bang. Kasian anak aku kalau harus minum susu dari uang ini," demikian sang Adik menolak dengan pesan larangan yang tersirat. "Aku juga ingin Abang tetap hidup, berkeluarga, dan bekerja layaknya orang banyak. Jangan main-main dengan bahaya, Bang" lanjutnya. Dunia ini menawarkan kekerasan. Abang ini hanya menelannya saja," terang sang Abang. "Lagipula, kalau sudah dalam zona perang ini, hidup dan mati itu bedanya tipis," lanjutnya dengan tatapan k